Pernah mendengar sebuah judul dari buah tangan salah seorang yang ditokohkan di negara kita, Ibu Kartini, yang berjudul "Habit Gelap Terbitlah Terang"?
Apakah kita semua mengetahui arti dan maksud dari "Habis Gelap Terbitlah Terang?"
Ternyata kalimat
tersebut berasal dari kumpulan surat RA Kartini : “Door Duisternis Tot
Licht”, yang terlanjur diartikan sebagai “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Prof.
Haryati Soebadio (cucu tiri Ibu Kartini) – mengartikan kalimat “Door
Duisternis Tot Licht” Sebagai “Dari Gelap Menuju Cahaya” yang bahasa
Arabnya adalah “Minazh-Zhulumaati ilan-Nuur”. Kata dalam bahasa Arab
tersebut, tidak lain, merupakan inti dari dakwah Islam yang artinya:
membawa manusia dari kegelapan (jahiliyyah atau kebodohan hidayah) ke
tempat yang terang benderang (petunjuk atau kebenaran). Di dalam
Al-Quran, surat Al-Baqarah : 257, Allah SWT menegaskan: Allah pemimpin
orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada
cahaya. Dan orang-orang kafir pemimpinnya adalah syaitan, yang
mengeluarkan mereka dari cahaya ke kegelapan. Mereka itu adalah penghuni
neraka; mereka kekal didalamnya.
Asal muasal Habis Gelap Terbitlah Terang
Pada
masa kecilnya, Kartini mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan
ketika belajar mengaji (membaca Al-Quran). Ibu guru mengajinya memarahi
beliau ketika Kartini menanyakan makna dari kata kata Al-Quran yang
diajarkan kepadanya untuk membacanya. Sejak saat itu timbullah penolakan
pada diri Kartini. “Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus
menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan
umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku
Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti,
tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh
diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang
mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak
mengerti apa yang dibacanya. Kupikir,pekerjaan orang gilakah, orang
diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja
halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus
hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan
kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa apa,asalkan
jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?” [Surat Kartini
kepada Stella, 6 November 1899]
“Dan waktu itu aku
tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlunya dan apa
manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Quran, belajar menghafal
perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti
artinya, dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya.
Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja.
Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh
mengerti apa artinya.[Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 15 Agustus
1902].
...
Sampai suatu ketika
Kartini berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati di Demak (Pangeran
Ario Hadiningrat). Di Demak waktu itu sedang berlangsung pengajian
bulanan khusus untuk anggota keluarga. Kartini ikut mendengarkan
pengajian tersebut bersama para raden ayu yang lain, dari balik tabir.
Kartini tertarik pada materi pengajian yang disampaikan Kyai Haji
Mohammad Sholeh bin Umar, seorang ulama besar dari Darat, Semarang,
yaitu tentang tafsir Al-Fatihah. Kyai Sholeh Darat ini – demikian ia
dikenal – sering memberikan pengajian di berbagai kabupaten di sepanjang
pesisir utara.
Setelah selesai acara pengajian Kartini mendesak
pamannya agar bersedia menemani dia untuk menemui Kyai Sholeh Darat.
Inilah dialog antara Kartini dan Kyai Sholeh Darat, yang ditulis oleh
Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat :
“Kyai,
perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang
berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?” Tertegun Kyai Sholeh Darat
mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu.
“Mengapa
Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh Darat balik bertanya,
sambil berpikir kalau saja apa yang dimaksud oleh pertanyaan Kartini
pernah terlintas dalam pikirannya.
“Kyai, selama hidupku baru kali
inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk
Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan
buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis
habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan
dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru
kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Setelah
pertemuannya dengan Kartini, Kyai Sholeh Darat tergugah untuk
menterjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Pada hari pernikahan
Kartini, Kyai Sholeh Darat menghadiahkan kepadanya terjemahan Al-Quran
(Faizhur Rohman Fit Tafsiril Quran), jilid pertama yang terdiri dari 13
juz, mulai dari surat Al-Fatihah sampai dengan surat Ibrahim.
Mulailah
Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya.Tapi sayang
tidak lama setelah itu Kyai Sholeh Darat meninggal dunia,sehingga
Al-Quran tersebut belum selesai diterjemahkan seluruhnya ke dalam bahasa
Jawa. Kalau saja Kartini sempat mempelajari keseluruhan ajaran Islam
(Al-Quran) maka tidak mustahil ia akan menerapkan semaksimal mungkin
semua hal yang dituntut Islam terhadap muslimahnya. Terbukti Kartini
sangat berani untuk berbeda dengan tradisi adatnya yang sudah terlanjur
mapan. Kartini juga memiliki modal kehanifan yang tinggi terhadap ajaran
Islam. Bukankah pada mulanya beliau paling keras menentang poligami,
tapi kemudian setelah mengenal Islam, beliau dapat menerimanya.
Saat
mempelajari Al-Islam lewat Al-Quran terjemahan berbahasa Jawa itu,
Kartini menemukan dalam surat Al-Baqarah ayat 257 bahwa Allahlah yang
telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya
(Minazh-Zhulumaati ilan Nuur). Rupanya, Kartini terkesan dengan kata
kata Minazh-Zhulumaati ilan Nuur yang berarti dari gelap kepada cahaya.
Karena Kartini merasakan sendiri proses perubahan dirinya,dari pemikiran
tak-berketentuan kepada pemikiran hidayah. Dalam banyak suratnya
sebelum wafat, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kalimat “Dari Gelap
Kepada Cahaya” ini. Karena Kartini selalu menulis suratnya dalam bahasa
Belanda, maka kata-kata ini dia terjemahkan dengan “Door Duisternis Tot
Licht”.
Karena seringnya kata-kata tersebut muncul
dalam surat-surat Kartini, maka Mr. Abendanon yang mengumpulkan
surat-surat Kartini menjadikan kata-kata tersebut sebagai judul dari
kumpulan surat Kartini. Tentu saja ia tidak menyadari bahwa kata-kata
tersebut sebenarnya dipetik dari Al-Quran.
...
"Minazh-Zhulumaati ilan-Nuur" dan "Emansipasi Perempuan"
Kartini
berada dalam proses dari kegelapan menuju cahaya. Namun cahaya itu
belum sempurna menyinarinya secara terang benderang, karena terhalang
oleh tabir tradisi dan usaha westernisasi. Kartini telah kembali kepada
Pemiliknya, sebelum ia menuntaskan usahanya untuk mempelajari Islam dan
mengamalkannya, seperti yang diidam-idamkannya: Moga-moga kami mendapat
rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam
patut disukai. [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902]
Kartini
yang dikungkung oleh adat dan dituntun oleh Barat, telah mencoba
meretas jalan menuju benderang. Tapi anehnya tak seorangpun melanjutkan
perjuangannya. Wanita-wanita kini mengurai kembali benang yang telah
dipintal Kartini. Sungguhpun mereka merayakan hari lahirnya, namun
mereka mengecilkan arti perjuangannya. Gagasan gagasan cemerlang Kartini
yang dirumuskan dalam kamar yang sepi, mereka peringati di atas
panggung yang bingar. Kecaman Kartini yang teramat pedas terhadap Barat,
mereka artikan sebagai isyarat untuk mengikuti wanita-wanita Barat
habis-habisan.
Kartini merupakan salah satu contoh
figur sejarah yang lelah menghadapi pertarungan ideologi. Jangan kecam
Kartini. Karena walau bagaimana pun, beliau telah berusaha mendobrak
adat, mengelak dari Barat, untuk mengubah keadaan. Manusia itu berusaha,
Allah lah yang menentukan. [Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer,
Oktober 1900]
Demikian kata-kata Kartini yang
mencerminkan suatu sikapnya yang tawakkal. Memang, kita manusia
sebaiknya berorientasi kepada usaha dan bukan berorientasi pada hasil.
Hal ini perlu, agar kita tidak kehilangan cakrawala. Agar kita tidak
mengukur keberhasilan suatu perjuangan dengan batasan usia kita yang
singkat. Pula agar kita tidak mudah untuk mengecam kesalahan yang dibuat
oleh orang-orang sebelum kita. Bukan mustahil, jika kita dihadapkan
dalam kondisi yang sama, kita pun akan berbuat hal yang serupa.
Itu
adalah umat yang telah lalu; baginya apa yang diusahakannya dan bagimu
apa yang kamu usahakan; dan kamu tidak akan dimintai pertanggung jawab
tentang apa yang telah mereka kerjakan. [Al-Quran, surat Al-Baqarah :
134]
...
Kartini merasa bahwa hati
kecilnya selalu mengatakan : “Pergilah. Laksanakan cita-citamu.
Kerjalah untuk hari depan. Kerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang
yang tertindas di bawah hukum yang tidak adil dan paham-paham yang palsu
tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Pergi. Pergilah.
Berjuanglah dan menderitalah, tetapi bekerjalah untuk kepentingan yang
abadi” [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902]
Petikan suratnya berikut ini adalah cita-cita Kartini yang banyak salah dimengerti :
“Kami
di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan,
bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu
menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami
yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita
lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam
sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang
pertama-tama. [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober
1902]
Inilah gagasan Kartini yang sebenarnya, namun
kenyataannya sering diartikan secara sempit dengan satu kata:
emansipasi. Sehingga setiap orang bebas mengartikan semaunya sendiri.
Allahu a'lam
0 komentar:
Posting Komentar