Syarat-Syarat Shalat
Shalat tidak akan sah kecuali jika memenuhi
syarat-syarat, rukun-rukun dan hal-hal yang wajib ada padanya serta
menghindari hal-hal yang akan membatalkannya.
Adapun
syarat-syaratnya ada sembilan: 1. Islam, 2. Berakal, 3. Tamyiz (dapat
membedakan antara yang baik dan yang buruk), 4. Menghilangkan hadats, 5.
Menghilangkan najis, 6. Menutup aurat, 7. Masuknya waktu, 8. Menghadap
kiblat, 9. Niat.
Secara bahasa, syuruuth (syarat-syarat) adalah bentuk jamak dari kata syarth yang berarti alamat.
Sedangkan
menurut istilah adalah apa-apa yang ketiadaannya menyebabkan
ketidakadaan (tidak sah), tetapi adanya tidak mengharuskan (sesuatu itu)
ada (sah). Contohnya, jika tidak ada thaharah (kesucian) maka shalat
tidak ada (yakni tidak sah), tetapi adanya thaharah tidak berarti adanya
shalat (belum memastikan sahnya shalat, karena masih harus memenuhi
syarat-syarat yang lainnya, rukun-rukunnya, hal-hal yang wajibnya dan
menghindari hal-hal yang membatalkannya, pent.). Adapun yang dimaksud
dengan syarat-syarat shalat di sini ialah syarat-syarat sahnya shalat
tersebut.
Penjelasan Sembilan Syarat Sahnya Shalat
1. Islam
Lawannya
adalah kafir. Orang kafir amalannya tertolak walaupun dia banyak
mengamalkan apa saja, dalilnya firman Allah 'azza wa jalla, "Tidaklah
pantas bagi orang-orang musyrik untuk memakmurkan masjid-masjid Allah
padahal mereka menyaksikan atas diri mereka kekafiran. Mereka itu,
amal-amalnya telah runtuh dan di dalam nerakalah mereka akan kekal."
(At-Taubah:17)
Dan firman Allah 'azza wa jalla, "Dan Kami hadapi
segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan)
debu yang berterbangan." (Al-Furqan:23)
Shalat tidak akan diterima
selain dari seorang muslim, dalilnya firman Allah 'azza wa jalla,
"Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah
akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi." (Aali 'Imraan:85)
2. Berakal
Lawannya adalah gila. Orang gila terangkat darinya pena (tidak dihisab amalannya) hingga dia sadar, dalilnya sabda Rasulullah,
رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ،
وَالْمَجْنُوْنِ حَتَّى يُفِيْقَ، وَالصَّغِيْرِ حَتَّى يَبْلُغَ. (رَوَاهُ
أَحْمَدُ وَأَبُوْ دَاوُوْدَ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَه)
"Diangkat
pena dari tiga orang: 1. Orang tidur hingga dia bangun, 2. Orang gila
hingga dia sadar, 3. Anak-anak sampai ia baligh." (HR. Ahmad, Abu Dawud,
An-Nasa-i, dan Ibnu Majah).
3. Tamyiz
Yaitu anak-anak yang
sudah dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, dimulai dari
umur sekitar tujuh tahun. Jika sudah berumur tujuh tahun maka mereka
diperintahkan untuk melaksanakan shalat, berdasarkan sabda Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam,
مُرُوْا أَبْنَاءَكُمْ
بِالصَّلاَةِ لِسَبْعٍ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ وَفَرِّقُوْا
بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ. (رَوَاهُ الْحَاكِمُ وَاْلإِمَامُ أَحْمَدُ
وَأَبُوْ دَاوُوْدَ)
"Perintahkanlah anak-anak kalian shalat ketika
berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka ketika berumur sepuluh tahun
(jika mereka enggan untuk shalat) dan pisahkanlah mereka di
tempat-tempat tidur mereka masing-masing." (HR. Al-Hakim, Al-Imam Ahmad
dan Abu Dawud)
4. Menghilangkan Hadats (Thaharah)
Hadats ada
dua: hadats akbar (hadats besar) seperti janabat dan haidh, dihilangkan
dengan mandi (yakni mandi janabah), dan hadats ashghar (hadats kecil)
dihilangkan dengan wudhu`, sesuai sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam,
"Allah tidak akan menerima shalat tanpa bersuci." (HR. Muslim dan selainnya)
Dan
sabda Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, "Allah tidak akan menerima
shalat orang yang berhadats hingga dia berwudlu`." (Muttafaqun 'alaih)
5. Menghilangkan Najis
Menghilangkan
najis dari tiga hal: badan, pakaian dan tanah (lantai tempat shalat),
dalilnya firman Allah 'azza wa jalla, "Dan pakaianmu, maka sucikanlah."
(Al-Muddatstsir:4)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
تَنَزَّهُوْا مِنَ الْبَوْلِ فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنْهُ.
"Bersucilah dari kencing, sebab kebanyakan adzab kubur disebabkan olehnya."
6. Menutup Aurat
Menutupnya
dengan apa yang tidak menampakkan kulit (dan bentuk tubuh), berdasarkan
sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Allah tidak akan
menerima shalat wanita yang telah haidh (yakni yang telah baligh)
kecuali dengan khimar (pakaian yang menutup seluruh tubuh, seperti
mukenah)." (HR. Abu Dawud)
Para ulama sepakat atas batalnya orang
yang shalat dalam keadaan terbuka auratnya padahal dia mampu mendapatkan
penutup aurat. Batas aurat laki-laki dan budak wanita ialah dari pusar
hingga ke lutut, sedangkan wanita merdeka maka seluruh tubuhnya aurat
selain wajahnya selama tidak ada ajnaby (orang yang bukan mahramnya)
yang melihatnya, namun jika ada ajnaby maka sudah tentu wajib atasnya
menutup wajah juga.
Di antara yang menunjukkan tentang mentutup
aurat ialah hadits Salamah bin Al-Akwa` radhiyallahu 'anhu, "Kancinglah
ia (baju) walau dengan duri."
Dan firman Allah 'azza wa jalla,
"Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaian kalian yang indah di setiap
(memasuki) masjid." (Al-A'raaf:31) Yakni tatkala shalat.
7. Masuk Waktu
Dalil
dari As-Sunnah ialah hadits Jibril 'alaihis salam bahwa dia mengimami
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di awal waktu dan di akhir waktu
(esok harinya), lalu dia berkata: "Wahai Muhammad, shalat itu antara dua
waktu ini."
Dan firman Allah 'azza wa jalla, "Sesungguhnya shalat
itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman." (An-Nisa`:103)
Artinya diwajibkan dalam waktu-waktu yang
telah tertentu. Dalil tentang waktu-waktu itu adalah firman Allah 'azza
wa jalla, "Dirikanlah shalat dari sesudah tergelincirnya matahari sampai
gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Shubuh. Sesungguhnya shalat
Shubuh itu disaksikan (oleh malaikat)." (Al-Israa`:78)
8. Menghadap Kiblat
Dalilnya
firman Allah, "Sungguh Kami melihat wajahmu sering menengadah ke
langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke Kiblat yang kamu
sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil-Haram, dan di mana saja
kalian berada maka palingkanlah wajah kalian ke arahnya."
(Al-Baqarah:144)
9. Niat
Tempat niat ialah di dalam hati,
sedangkan melafazhkannya adalah bid'ah (karena tidak ada dalilnya).
Dalil wajibnya niat adalah hadits yang masyhur, "Sesungguhnya amal-amal
itu didasari oleh niat dan sesungguhnya setiap orang akan diberi
(balasan) sesuai niatnya." (Muttafaqun 'alaih dari 'Umar Ibnul
Khaththab)
Rukun-Rukun Shalat
Rukun-rukun shalat ada empat
belas: 1. Berdiri bagi yang mampu, 2. Takbiiratul-Ihraam, 3. Membaca
Al-Fatihah, 4. Ruku', 5. I'tidal setelah ruku', 6. Sujud dengan anggota
tubuh yang tujuh, 7. Bangkit darinya, 8. Duduk di antara dua sujud, 9.
Thuma'ninah (Tenang) dalam semua amalan, 10. Tertib rukun-rukunnya, 11.
Tasyahhud Akhir, 12. Duduk untuk Tahiyyat Akhir, 13. Shalawat untuk Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam, 14. Salam dua kali.
Penjelasan Empat Belas Rukun Shalat
1. Berdiri tegak pada shalat fardhu bagi yang mampu
Dalilnya
firman Allah 'azza wa jalla, "Jagalah shalat-shalat dan shalat wustha
(shalat 'Ashar), serta berdirilah untuk Allah 'azza wa jalla dengan
khusyu'." (Al-Baqarah:238)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Shalatlah dengan berdiri..." (HR. Al-Bukhary)
2. Takbiiratul-ihraam, yaitu ucapan: 'Allahu Akbar', tidak boleh dengan ucapan lain
Dalilnya
hadits, "Pembukaan (dimulainya) shalat dengan takbir dan penutupnya
dengan salam." (HR. Abu Dawud dan dishahihkan Al-Hakim)
Juga hadits tentang orang yang salah shalatnya, "Jika kamu telah berdiri untuk shalat maka bertakbirlah." (Idem)
3. Membaca Al-Fatihah
Membaca Al-Fatihah adalah rukun pada tiap raka'at, sebagaimana dalam hadits,
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ.
"Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah." (Muttafaqun 'alaih)
4. Ruku'
5. I'tidal (Berdiri tegak) setelah ruku'
6. Sujud dengan tujuh anggota tubuh
7. Bangkit darinya
8. Duduk di antara dua sujud
Dalil
dari rukun-rukun ini adalah firman Allah 'azza wa jalla, "Wahai
orang-orang yang beriman ruku'lah dan sujudlah." (Al-Hajj:77)
Sabda Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, "Saya telah diperintahkan untuk sujud dengan tujuh sendi." (Muttafaqun 'alaih)
9. Thuma'ninah dalam semua amalan
10. Tertib antara tiap rukun
Dalil rukun-rukun ini adalah hadits musii` (orang yang salah shalatnya),
"Dari
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam masuk mesjid, lalu seseorang masuk dan melakukan
shalat lalu ia datang memberi salam kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab
salamnya dan bersabda: 'Kembali! Ulangi shalatmu! Karena kamu belum
shalat (dengan benar)!, ... Orang itu melakukan lagi seperti shalatnya
yang tadi, lalu ia datang memberi salam kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab
salamnya dan bersabda: 'Kembali! Ulangi shalatmu!t Karena kamu belum
shalat (dengan benar)!, ... sampai ia melakukannya tiga kali, lalu ia
berkata: 'Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran sebagai Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam, saya tidak sanggup melakukan yang lebih
baik dari ini maka ajarilah saya!' Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda kepadanya: 'Jika kamu berdiri hendak melakukan shalat,
takbirlah, baca apa yang mudah (yang kamu hafal) dari Al-Qur`an,
kemudian ruku'lah hingga kamu tenang dalam ruku', lalu bangkit hingga
kamu tegak berdiri, sujudlah hingga kamu tenang dalam sujud, bangkitlah
hingga kamu tenang dalam duduk, lalu lakukanlah hal itu pada semua
shalatmu." (HR. Abu Dawud dan dishahihkan Al-Hakim)
11. Tasyahhud Akhir
Tasyahhud
akhir termasuk rukun shalat sesuai hadits dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu
'anhu, ia berkata, "Tadinya, sebelum diwajibkan tasyahhud atas kami,
kami mengucapkan: 'Assalaamu 'alallaahi min 'ibaadih, assalaamu 'alaa
Jibriil wa Miikaa`iil (Keselamatan atas Allah 'azza wa jalla dari para
hamba-Nya dan keselamatan atas Jibril 'alaihis salam dan Mikail 'alaihis
salam)', maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Jangan
kalian mengatakan, 'Assalaamu 'alallaahi min 'ibaadih (Keselamatan atas
Allah 'azza wa jalla dari para hamba-Nya)', sebab sesungguhnya Allah
'azza wa jalla Dialah As-Salam (Dzat Yang Memberi Keselamatan) akan
tetapi katakanlah, 'Segala penghormatan bagi Allah, shalawat, dan
kebaikan', ..." Lalu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan
hadits keseluruhannya. Lafazh tasyahhud bisa dilihat dalam kitab-kitab
yang membahas tentang shalat seperti kitab Shifatu Shalaatin Nabiy,
karya Asy-Syaikh Al-Albaniy dan kitab yang lainnya.
12. Duduk Tasyahhud Akhir
Sesuai
sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Jika seseorang dari
kalian duduk dalam shalat maka hendaklah ia mengucapkan At-Tahiyyat."
(Muttafaqun 'alaih)
13. Shalawat atas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
Sebagaimana
dalam sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Jika seseorang
dari kalian shalat... (hingga ucapannya beliau shallallahu 'alaihi wa
sallam) lalu hendaklah ia bershalawat atas Nabi."
Pada lafazh yang lain, "Hendaklah ia bershalawat atas Nabi lalu berdoa." (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
14. Dua Kali Salam
Sesuai sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "... dan penutupnya (shalat) ialah salam."
Inilah
penjelasan tentang syarat-syarat dan rukun-rukun shalat yang harus
diperhatikan dan dipenuhi dalam setiap melakukan shalat karena kalau
meninggalkan salah satu rukun shalat baik dengan sengaja atau pun lupa
maka shalatnya batal, harus diulang dari awal. Wallaahu A'lam.
Wajib-wajib Shalat
1. Semua takbir, kecuali Takbiiratul Ihraam
Sesuai ucapan Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu, "Saya melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir di setiap naik dan turunnya, berdiri dan duduknya." (HR. Ahmad, An-Nasa`iy dan At-Tirmidziy menshahihkannya)
Demikian pula sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Jika imam bertakbir maka bertakbirlah."
Ini adalah perintah, sedangkan perintah menunjukkan wajib.
2. Mengucapkan Subhaana rabbiyal 'azhiim saat ruku'
Sesuai dengan hadits Hudzaifah radhiyallahu 'anhu yang menggambarkan shalat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau dalam ruku'nya mengucapkan, "Subhaana rabbiyal 'azhiim" (Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung) dan pada sujudnya mengucapkan, "Subhaana rabbiyal a'laa" (Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi)
3. Mengucapkan Sami'allaahu liman hamidah bagi imam dan yang shalat sendiri
Berdasarkan ucapan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu yang mensifati shalat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasannya beliau mengucapkan Sami'allaahu liman hamidah (Allah mendengar orang yang memuji-Nya) tatkala mengangkat punggungnya dari ruku'. (Muttafaqun 'alaih)
4. Mengucapkan Rabbanaa walakal hamdu bagi semua (imam, makmum dan yang shalat sendiri)
Sesuai kelanjutan ucapan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu pada hadits yang lalu, "Lalu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan berdiri mengucapkan Rabbanaa walakal hamdu."
5. Mengucapkan Subhaana rabbiyal a'laa saat sujud
Sesuai hadits Hudzaifah radhiyallahu 'anhu yang lalu.
6. Mengucapkan Rabbighfirlii antara dua sujud
Sebagaimana dalam hadits Hudzaifah radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan antara dua sujud Rabbighfirlii. (HR. An-Nasa`iy dan Ibnu Majah)
7. Membaca Tasyahhud awal, dan
8. Duduk untuk tasyahhud awal
Sebagaimana hadits, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membaca pada tiap dua rakaat At-Tahiyyaat.", dan pada hadits yang lain, "Jika kalian telah duduk pada tiap dua rakaat maka ucapkanlah At-Tahiyyaat." (HR. Al-Imam Ahmad dan An-Nasa`iy)
Untuk lebih lengkapnya bisa meruju' kepada kitab Syuruuthush Shalaati wa Arkaanuhaa, karya Syaikhul Islam Muhammad bin 'Abdul Wahhab, kitab Al-'Uddah Syarh Al-'Umdah hal.13-17, dan kitab Manaarus Sabiil hal.70-87
Itulah penjelasan singkat tentang 8 (delapan) hal yang wajib dilakukan pada setiap shalat.
Perbedaan antara rukun-rukun shalat dengan wajib-wajib shalat adalah
kalau meninggalkan rukun-rukun shalat baik dengan sengaja ataupun lupa
maka akan membatalkan shalat, sedangkan meninggalkan wajib-wajib shalat,
jika ditinggalkan secara sengaja maka shalatnya batal, namun jika
ditinggalkan karena lupa maka dia melakukan sujud sahwi (sujud karena
lupa, sebagai gantinya)
Sunnah-sunnah dalam shalat :
Diantara sunnah-sunnah shalat adalah
1. Do’a Istiftaah
2. Meletakkan (telapak) tangan kanan di atas (punggung) tangan kiri pada dada tatkala berdiri sebelum ruku’
3. Mengangkat kedua tangan dengan jari-jari rapat yang tebuka (tidak
terkepal) setinggi bahu atau telinga tatkala takbir pertama, ruku’,
bangkit dari ruku’, dan ketika berdiri dari tasyahhud awal menuju
raka’at ketiga
4. Tambahan dari sekali tasbih dalam tasbih ruku’ dan sujud
5. Tambahan dari ucapan Rabbanaa walakal hamdu setelah bangkit dari ruku’
6. Tambahan dari satu permohonan akan maghfirah (yaitu bacaan Rabbighfirlii) Diantara dua sujud
7. Meratakan kepala dengan punggung dalam ruku’
8. Berjauhan antara kedua lengan atas dengan kedua sisi, antara perut
dengan kedua paha dan antara kedua paha dengan kedua betis pada waktu
sujud
9. Mengangkat kedua siku dari lantai ketika sujud
10. Duduk iftiraasy (duduk di atas kaki kiri sebagai alas dan menegakkan kaki kanan) pada tasyahhud awal dan Diantara dua sujud.
11. Duduk tawarruk (duduk pada lantai dan meletakkan kaki kiri di bawah
kaki kanan yang tegak) pada tasyahhud akhir dalam shalat tiga atau
empat raka’at
12. Mengisyaratkan dengan telunjuk pada tasyahhud awal dan tasyahhud akhir sejak mulai duduk sampai selesai tasyahhud
13. Mendo’akan shalawat dan berkah untuk Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam dan keluarga beliau serta untuk Nabi Ibrahim ‘alaihis
salam dan keluarga beliau pada tasyahhud awal
14. Berdo’a pada tasyahhud akhir
15. Mengeraskan (jahr) bacaan pada shalat Fajar (Shubuh), Jum’at, Dua
Hari Raya, Istisqaa` (minta hujan), dan pada dua raka’at pertama shalat
Maghrib dan ‘Isya`
16. Merendahkan (sirr) bacaan pada shalat Zhuhur, ‘Ashar, pada raka’at
ketiga shalat Maghrib dan dua rakaat terakhir shalat ‘Isya`
17. Membaca lebih dari surat Al-Fatihah.
Demikian juga kita harus memperhatikan apa-apa yang tersebut dalam
riwayat tentang sunnah-sunnah selain yang telah kami sebutkan. Misalnya,
tambahan dari ucapan Rabbanaa walakal hamdu setelah bangkit dari ruku’
untuk imam, makmum, dan yang shalat sendiri, karena hal itu termasuk
sunnah. Meletakkan kedua tangan dengan jari-jari terbuka (tidak rapat)
pada dua lulut ketika ruku’ juga termasuk sunnah.
Penjelasan Sunnah-sunnah Shalat
Ketahuilah bahwa sunnah-sunnah shalat itu ada dua macam:
1. Sunnah-sunnah perkataan
2. Sunnah-sunnah perbuatan
Sunnah-sunnah
ini tidak wajib dilakukan oleh orang yang shalat, tetapi jika ia
melakukan semuanya atau sebagiannya maka ia akan mendapatkan pahala,
sedangkan orang yang meninggalkan semuanya atau sebagiannya maka tidak
ada dosa baginya, sebagaimana pembicaraan tentang sunnah-sunnah yang
lain (selain sunnah shalat). Namun seharusnya bagi seorang mukmin untuk
melakukannya sambil mengingat sabda Al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi
wa sallam,
“Wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah
Al-Khulafaa` Ar-Raasyidiin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah itu
dengan gigi geraham kalian.” (HR. At-Tirmidziy dari Al-’Irbadh bin
Sariyah radhiyallahu ‘anhu)
Sunnah-sunnah dalam Shalat itu sebagai berikut:
1. Doa Istiftaah
Dinamakan do’a Istiftaah karena shalat dibuka dengannya.
Diantara doa istiftaah:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ
“Maha Suci Engkau Ya Allah dan Maha Terpuji, Maha Berkah Nama-Mu, Maha
Tinggi Kemuliaan-Mu, dan tiada Ilah yang berhak diibadahi selain
Engkau.”
Makna Subhaanakallaahumma, “Saya mensucikan-Mu dengan pensucian yang layak bagi Kemuliaan-Mu, Ya Allah.”
Wabihamdika, ada yang mengatakan maknanya, “Saya mengumpulkan tasbih dan pujian bagi-Mu.”
Watabaarakasmuka, maknanya, “Berkah dapat tercapai dengan menyebut-Mu.”
Wata’aalaa jadduka, maknanya, “Maha Mulia Keagungan-Mu.”
Wa laa ilaaha ghairuka, maknanya, “Tidak ada sesembahan (yang berhak diibadahi) di bumi maupun di langit selain-Mu.”
Boleh membaca do’a istiftaah dengan do’a yang mana saja yang
diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mustahab (termasuk
sunnah) jika seorang muslim melakukan doa istiftaah kadang dengan do’a
yang ini, kadang dengan do’a yang itu, agar dia tergolong orang yang
melakukan sunnah keseluruhannya (dalam masalah ini).
Diantara do’a-do’a istiftaah yang tersebut dalam riwayat adalah
اللَّهُمَّ
بَاعِدْ بَيْنِيْ وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ
الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ اللَّهُمَّ نَقِّنِيْ مِنْ خَطَايَايَ كَمَا
يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ اللَّهُمَّ اغْسِلْنِيْ
مِنْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ
“Ya Allah, jauhkanlah antara aku dengan kesalahan-kesalahanku
sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara timur dengan barat. Ya Allah,
bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana baju yang
putih dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, cucilah kesalahan-kesalahanku
dengan air, es dan embun.”
2. Meletakkan (telapak) tangan kanan di atas (punggung) tangan kiri pada dada saat berdiri sebelum ruku’
Sebagaimana diterangkan dalam hadits Wa`il bin Hujr radhiyallahu ‘anhu,
“Lalu Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangan yang kanan
di atas tangan yang kiri.” (HR. Al-Imam Ahmad dan Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّا مَعْشَرَ الأَنْبِيَاءِ أُمِرْنَا بِتَعْجِيْلِ
فِطْرِنَا وَتَأْخِيْرِ سُحُوْرِنَا وَأَنْ نَضَعَ أَيْمَانَنَا عَلَى
شَمَائِلِنَا فِي الصَّلاَةِ
“Sesungguhnya kami, kalangan para Nabi, telah diperintahkan untuk
menyegerakan buka puasa kami, mengakhirkan sahur kami, serta agar kami
meletakkan tangan kanan kami di atas tangan kiri dalam shalat.” (HR. Abu
Dawud dengan sanad yang hasan dari Thawus secara mursal)
Dan
masih ada lagi selain cara di atas sebagaimana di terangkan dalam
berbagai riwayat. Namun dalam hal ini, pendapat yang terpilih dan rajih
adalah meletakkan tangan di atas dada (yaitu tepat di dada, bukan di
atas dada mendekati leher), atau yang mendekati dada yaitu di sekitar
hati, wallaahu a’lam.
Asy-Syaikh Al-Albaniy menjelaskan bahwa meletakkan kedua tangan di dada
inilah yang shahih di dalam sunnah, adapun selain itu riwayatnya dha’if
atau laa ashla lahu (tidak ada asalnya), lihat kitab beliau Shifatu
Shalaatin Nabiy shallallahu ‘alaihi wa sallam. (bersambung insya Allah).
Wallaahu A’lam.
Pada
edisi yang lalu telah dijelaskan do’a istiftaah dan meletakkan telapak
tangan kanan di atas punggung tangan kiri pada dada saat berdiri
sebelum ruku’, sekarang akan dilanjutkan dengan sunnah-sunnah yang
lainnya, yaitu:
3.
Mengangkat kedua tangan dengan jari-jarinya yang rapat terbuka (tidak
terkepal) setinggi bahu atau telinga tatkala takbir pertama, ruku’,
bangkit dari ruku’ dan ketika berdiri dari tasyahhud awal menuju
raka’at ketiga
Berdasarkan
hadits riwayat Abu Dawud yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya dengan jari-jari yang
rapat terbuka /tidak terkepal (dan tentunya menghadap ke kiblat).
Juga berdasarkan hadits Abu Humaid radhiyallahu ‘anhu, “Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangan setinggi kedua
bahunya.” (HR. Abu Dawud)
Dan hadits Malik bin Huwairits, “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengangkat kedua tangannya hingga setinggi ujung kedua telinganya.”
(Muttafaqun ‘alaih)
Mengangkat kedua tangan adalah isyarat membuka hijab antara seorang
hamba dengan Rabbnya, sebagaimana telunjuk mengisyaratkan ke-Esaan Allah
‘azza wa jalla.
Pada Hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika beliau berdiri untuk shalat wajib
maka beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangan beliau setinggi kedua
bahunya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan seperti itu
apabila telah selesai dari bacaannya dan hendak ruku’, demikian pula
setelah mengangkat kepala dari ruku’. Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak mengangkat tangannya sama sekali ketika duduk di dalam
shalat. Apabila telah berdiri selesai melakukan dua sujud (maksudnya
adalah dua raka’at), maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali
mengangkat kedua tangannya sambil bertakbir. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan
At-Tirmidziy menshahihkannya).
4. Tambahan dari sekali dalam tasbih ruku’ dan sujud
Sesuai hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia mendengarkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan tatkala ruku’,
Subhaana rabbiyal ‘azhiim, sedangkan tatkala sujud, Subhaana rabbiyal
a’laa. (HR. Abu Dawud)
Boleh juga ditambah dengan wabihamdih. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Yang wajib adalah satu kali, sedangkan batas minimal kesempurnaan adalah
tiga kali dan maksimalnya sepuluh kali (bagi imam). Sebagaimana
dikatakan oleh para ‘ulama, “Bagi imam, batas minimal kesempurnaan
adalah tiga kali dan maksimalnya sepuluh kali.”
Boleh juga do’a yang lain seperti dalam hadits Abu Hurairah, bahwa di
dalam sujudnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan,
اللَّهُمَّ اغْفِرْلِيْ ذَنْبِيْ كُلَّهُ وَدِقَّهُ وَجِلَّهُ وَأَوَّلَهُ وَأَخِرَهُ وَعَلاَنِيَّتَهُ وَسِرَّهُ
“Ya Allah, ampunilah bagiku dosaku semuanya, yang kecil maupun yang
besar, yang awal maupun yang akhir, serta yang terang-terangan maupun
yang tersembunyi.” (HR. Muslim)
Atau memilih do’a yang lain, lihat Shifatu Shalaatin Nabiy shallallahu ‘alaihi wa sallam karya Asy-Syaikh Al-Albaniy.
Jika mau maka boleh berdo’a (dengan bahasa Arab) ketika sujud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Adapun ketika sujud, maka perbanyaklah do’a padanya, sebab sangat
pantas dikabulkan bagi kalian (dengan keadaan seperti itu).” (HR.
Muslim)
Ketahuilah bahwa tidak boleh membaca ayat atau surat Al-Qur`an saat
ruku’ dan sujud karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya!!
(HR. Muslim)
5. Tambahan dari ucapan Rabbanaa walakal hamdu setelah bangkit dari ruku’
Seperti menambahkan,
مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَمِلْءَ الأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْئٍ بَعْدُ
“Sepenuh langit dan sepenuh bumi dan sepenuh semua yang Engkau kehendaki selain itu.” (HR. Muslim)
Jika mau maka boleh menambahkan lagi,
أَهْلَ
الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ وَكُلُّنَا لَكَ
عَبْدٌ اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا
مَنَعْتَ
وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
“Pemilik pujian dan kemuliaan yang paling pantas untuk dikatakan oleh
seorang hamba, semua kami hamba-Mu, Ya Allah, tidak ada penghalang
terhadap apa yang Engkau berikan, tidak ada pemberi terhadap apa yang
Engkau tahan, dan tidak dapat memberi manfaat selain daripada-Mu.” (HR.
Muslim, Abu Dawud dan Abu ‘Awanah)
Boleh juga tanpa wawu Rabbanaa lakal hamdu. (Muttafaqun ‘alaih)
Boleh mengucapkan do’a yang lain yang disebutkan dalam berbagai riwayat,
lihat Shifatu Shalaatin Nabiy shallallahu ‘alaihi wa sallam.
6. Tambahan dari satu permohonan akan maghfirah di antara dua sujud
Yang wajib adalah satu kali sesuai riwayat Hudzaifah bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan di antara dua sujud,
Rabbighfirlii (Rabbku ampunkanlah aku!). (HR. An Nasa`iy dan Ibnu Majah)
7. Meratakan kepala dengan punggung dalam ruku’
Berdasarkan hadits ‘A`isyah, “Jika ruku’, maka beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak meninggikan kepalanya dan tidak pula
menurunkannya, akan tetapi di antara itu.” (HR. Muslim)
8. Berjauhan
antara kedua lengan atas dengan kedua sisi, antara perut dengan kedua
paha dan antara kedua paha dengan kedua betis pada waktu sujud
9. Mengangkat kedua siku dari lantai ketika sujud
Berdasarkan hadits tentang sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merapatkan kedua
siku ke lantai. (HR. Al Bukhariy dan Abu Dawud)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua sikunya dari
lantai dan menjauhkannya dari dua sisinya sehingga tampak putih
ketiaknya dari belakang. (Muttafaqun ‘alaih)
10. Duduk Iftiraasy (duduk di atas kaki kiri sebagai alas dan menegakkan kaki kanan) pada tasyahhud awal dan di antara dua sujud
Berdasarkan hadits riwayat ‘A`isyah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjadikan alas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya. (HR.
Muslim)
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab berkata, “Lalu duduk iftirasy
untuk bertasyahhud, meletakkan kedua tangan di atas paha dengan
jari-jari tangan kiri dibentangkan dan rapat menghadap Kiblat, sedangkan
pada tangan kanannya maka anak jari dan jari manis dikepal, serta jari
tengah dilingkarkan dengan ibu jari, lalu bertasyahhud dengan sirr,
sementara telunjuk memberi isyarat tauhid.”
11. Duduk
tawarruk (duduk dengan pantat menyentuh lantai dan meletakkan kaki kiri
di bawah kaki kanan yang tegak) pada tasyahhud akhir dalam shalat tiga
atau empat raka’at
Abu Humaid As-Sa’idiy berkata, “Jika beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam duduk pada raka’at terakhir maka beliau memajukan kaki kirinya
dan menegakkan yang lain (kanan) serta duduk dengan pantat menyentuh
lantai.” (HR. Al-Bukhariy 2/828)
Dan dalam hadits Rifa’ah bin Rafi’ dijelaskan, “Lalu jika kamu telah
duduk di pertengahan (akan selesainya) shalat maka thuma’ninahlah,
rapatkan ke lantai paha kirimu lalu bertasyahhud.” (HR. Abu Dawud
no.860)
12. Mengisyaratkan dengan telunjuk pada tasyahhud awal dan tasyahhud akhir sejak mulai duduk sampai selesai tasyahhud
13. Mendo’akan shalawat dan berkah untuk Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarga beliau serta untuk Nabi
Ibrahim ‘alaihis sallam dan keluarga beliau pada tasyahhud awal
14. Berdo’a pada tasyahhud akhir
Berdasarkan hadits, “Lalu hendaklah ia memilih do’a yang dia suka.”
Banyak do’a-do’a setelah tasyahhud yang terdapat dalam berbagai riwayat,
silahkan meruju’ kitab Shifatu Shalaatin Nabiy shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
15.
Menjahrkan (mengeraskan) bacaan pada shalat Fajr, Jum’at, Dua Hari
Raya, Istisqaa` (minta hujan) dan pada dua raka’at pertama shalat
Maghrib dan ‘Isya`
16.
Merendahkan (sirr) bacaan pada shalat Zhuhur, ‘Ashar, pada raka’at
ketiga shalat Maghrib dan dua rakaat terakhir shalat ‘Isya`
Al-Imam Ibnu Qudamah berkata, “Telah disepakati akan mustahab-nya
menjahrkan bacaan pada tempat-tempat jahr dan mensirrkan pada
tempat-tempat sirr, serta kaum muslimin tidak berselisih pendapat
tentang tempat-tempatnya. Atas dasar perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang jelas pada penukilan ‘ulama khalaf dari ‘ulama salaf.”
17. Membaca lebih dari Al-Fatihah
Al-Imam Ibnu Qudamah berkata, “Membaca surat setelah Al-Fatihah adalah
disunnahkan pada dua raka’at (awal) dari semua shalat, kita tidak
mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.”
Sunnah-sunnah yang lain dalam Shalat
Termasuk
sunnah, yaitu imam menjahrkan takbirnya dan pada saat mengucapkan
tasmii’ (sami’allaahu liman hamidah), sesuai dengan sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika imam takbir maka bertakbirlah
kalian.”
Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika imam
mengucapkan Sami’allaahu liman hamidah, maka ucapkanlah: Rabbanaa
walakal hamdu.” (Muttafaqun ‘alaih)
Adapun makmum dan orang yang shalat sendiri, maka mereka mensirrkan kedua ucapan tersebut.
Disunnahkan mengucapkan ta’awwudz secara sirr, dengan mengucapkan
A’uudzu billaahi minasy syaithaanir rajiim, atau A’uudzu billaahi minasy
syaithaanir rajiim min hamzihi wanafkhihi wanaftsih (aku berlindung
kepada Allah dari godaan syaithan yang terkutuk, dari semburannya,
kesombongannya dan hembusannya). Lalu membaca basmalah dengan sirr
(pelan), basmalah tidak termasuk Al-Fatihah, tidak pula surat-surat
lainnya (kecuali pada surat An-Naml ayat 30, pent), namun basmalah
merupakan satu ayat tersendiri yang berada di awal tiap surat kecuali
At-Taubah.
Disunnahkan
menulis basmalah di awal tiap kitab sebagaimana yang telah dilakukan
oleh Nabi Sulaiman dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta
hendaklah diucapkan di tiap permulaan suatu pekerjaan, sebab ia dapat
mengusir syaithan.
Ketika membaca Al-Fatihah disunnahkan untuk berhenti pada tiap ayat
sebagaimana cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membacanya, lalu
mengucapkan aamiin (Ya Allah, kabulkanlah!) setelah diam sejenak agar
diketahui bahwa kata aamiin bukan dari Al-Qur`an. Tidak boleh
mengucapkan Rabighfirlii sebelum aamiin, karena tidak ada dalilnya. Imam
dan makmum menjahrkan aamiin secara bersamaan pada shalat jahr,
setelah itu disunnahkan bagi imam untuk diam sejenak pada shalat jahr
berdasarkan hadits Samurah.
Disunnahkan
membaca satu surat secara utuh setelah Al-Fatihah (dari awal sampai
akhir ayat dalam satu surat) walaupun boleh hanya membaca satu ayat,
yang menurut Al-Imam Ahmad mustahab (sunnah/disukai) satu ayat tersebut
panjang. Adapun di luar shalat, maka membaca basmalah boleh dengan
jahr atau sirr.
Hendaklah
surat yang dibaca pada shalat Fajr (Shubuh), surat yang termasuk dalam
Thiwaal Al-Mufashshal (surat-surat panjang dari mufashshal),
berdasarkan ucapan Aus, “Saya telah menanyakan kepada para shahabat
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana kalian membagi
Al-Qur`an?” Maka masing-masing mereka berkata, “Tiga bagian, lima,
tujuh, sembilan, sebelas dan tiga belas, ditambah satu bagian
Al-Mufashshal (yang dimulai dari surat Qaaf hingga An-Naas).”
Kemudian pada shalat Maghrib membaca Qishaar Al-Mufashshal (surat-surat
pendek dari mufashshal). Adapun pada shalat-shalat yang lain, maka
membaca Ausath Al-Mufashshal (yang sedang dari mufashshal) jika tidak
ada ‘udzur/halangan, namun jika ada halangan maka membaca yang pendek
saja.
Tidak mengapa
bagi wanita membaca dengan jahr pada shalat jahr, selama tidak ada
laki-laki ajnabiy (yang bukan mahram) yang mendengarkannya.
Adapun
orang yang melakukan shalat sunnah di malam hari, maka hendaklah ia
memperhatikan maslahat, jika di dekatnya ada orang yang merasa
terganggu hendaklah ia sirrkan, adapun jika orang di dekatnya justru
memperhatikan bacaannya maka hendaklah ia jahrkan. Tidak terlalu keras
dan tidak terlalu pelan sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu ketika shalat malam
agar meninggikan sedikit suaranya dan memerintahkan ‘Umar radhiyallahu
‘anhu agar menurunkan sedikit suaranya.
Hendaklah menjahrkan bacaan pada tempat jahr dan mensirrkannya pada
tempat sirr, walaupun tetap sah shalatnya kalau ia melakukan
kebalikannya, akan tetapi sunnah lebih berhak untuk diikuti. Adapun
tertib ayat, maka wajib diperhatikan karena tertib ayat harus
berdasarkan nash.
Termasuk
sunnah, berpaling ke kanan dan kiri saat salam, dan hendaklah
berpaling ke kiri lebih dalam hingga pipi terlihat. Imam menjahrkan
pada salam pertama saja, adapun selain imam maka hendaklah mensirrkan
kedua salam itu. Disunnahkan untuk tidak memanjangkan suara saat
memberi salam serta berniat dengannya untuk keluar dari (mengakhiri)
shalat dan memberi salam kepada malaikat penjaga dan orang-orang yang
hadir.
Termasuk
sunnah, setelah shalat imam (berbalik) condong ke makmum baik pada sisi
kanan atau kirinya, imam tidak lama duduk menghadap Kiblat setelah
salam, dan makmum tidak pergi sebelum imam. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنِّيْ إِمَامُكُمْ فَلاَ تَسْبِقُوْنِيْ بِالرُّكُوْعِ وَلاَ بِالسُّجُوْدِ وَلاَ بِالإِنْصِرَافِ
“Sesungguhnya aku adalah imam kalian, maka janganlah mendahuluiku dalam ruku’, sujud dan pergi.”
Jika
ada jama’ah wanita yang ikut shalat, maka hendaklah jama’ah wanita itu
keluar terlebih dahulu, sedangkan jama’ah laki-laki tetap pada
tempatnya untuk berdzikir agar tidak berpapasan dengan wanita.
Wallaahu A’lam.
Hal-Hal Yang Membatalkan Shalat
Hal-hal yang membatalkan shalat adalah:
1. Yakin telah berhadats (batal wudhu’). Dalilnya :
عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلُ الَّذِي يُخَيَّلُ
إِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ لَا يَنْفَتِلْ
أَوْ لَا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari ‘Abbad bin Tamim, dari pamannya, bahwa seorang laki-laki mengadu
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa dia mendapati
sesuatu di dalam shalat. Maka Beliau menjawab: “Janganlah dia berpaling
sehingga mendengar suara atau mendapati bau.” [HR Bukhari, no. 137;
Muslim, no. 361; dan lain-lain].
2. Meninggalkan sutu rukun dari rukun-rukun shalat (seperti: ruku’,
sujud, tuma’ninah, dan lain-lain) atau satu syarat dari syarat-syarat
shalat (seperti: wudhu, menutup aurat, menghadap kiblat, dan lainnya)
dengan sengaja tanpa udzur (halangan/alasan).
Batalnya shalat yang disebabkan karena meninggalkan rukun shalat, ini
berdasarkan perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada seseorang
yang melakukan shalat dengan buruk agar mengulangi shalatnya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ السَّلَامَ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ
فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk
masjid, lalu seorang laki-laki masuk masjid kemudian dia melakukan
shalat. Lalu dia datang, kemudian mengucapkan salam kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjawab salamnya, kemudian bersabda: “Kembalilah, lalu shalatlah,
sesungguhnya engkau belum shalat!” [HR Bukhari, no. 793; Muslim, no.
397; dan lain-lain]
Dalil batalnya shalat yang disebabkan karena meninggalkan syarat shalat, yaitu hadits:
عَنْ خَالِدٍ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى
رَجُلًا يُصَلِّي وَفِي ظَهْرِ قَدَمِهِ لُمْعَةٌ قَدْرُ الدِّرْهَمِ لَمْ
يُصِبْهَا الْمَاءُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنْ يُعِيدَ الْوُضُوءَ وَالصَّلَاةَ
Dari Khalid, dari sebagian sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki
sedang melakukan shalat, sedangkan pada luar telapak kakinya terdapat
bagian kering seukuran uang dirham yang tidak terkena air (wudhu’), maka
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mengulangi
wudhu dan shalatnya. [HR Abu Dawud, no. 175; Ibnu Majah, no. 399;
dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].
3. Makan atau minum dengan sengaja.
Ibnul Mundzir t berkata: “Ulama (telah) sepakat, barangsiapa makan atau
minum di dalam shalat fardhu (wajib) dengan sengaja, dia wajib
mengulangi (shalat).” (Al Ijma’, 40). Demikian juga di dalam shalat
tathawwu’ (sunah) menurut mayoritas ulama, karena yang membatalkan
(shalat) fardhu juga membatalkan (shalat) tathawwu’.
4. Sengaja berbicara bukan karena mashlahat shalat.
عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ
يُكَلِّمُ الرَّجُلُ صَاحِبَهُ وَهُوَ إِلَى جَنْبِهِ فِي الصَّلَاةِ
حَتَّى نَزَلَتْ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ فَأُمِرْنَا بِالسُّكُوتِ
(وَنُهِينَا عَنْ الْكَلَامِ )
Dari Zaid bin Arqam, dia berkata: “Dahulu kami berbicara di dalam
shalat. Seseorang berbicara kepada kawannya yang ada di sampingnya di
dalam shalat, sehingga turun (ayat, Red): ‘Berdirilah untuk Allah (dalam
shalatmu) dengan khusyu' (Al Baqarah:238, Red). (Kemudian kami
diperintahkan diam dan dilarang berbicara).” [HR Bukhari, no. 1.200;
Nasa’i (3/18); tambahan dalam kurung riwayat Muslim, no. 539; Tirmidzi,
no. 4003; Abu Dawud, no. 936].
Asy Syaukani rahimahullah (kemudian diikuti oleh Shiddiq Hasan Khan
rahimahullah) berkata: “Tidak ada perselisihan di antara ulama, bahwa
orang yang berbicara secara sengaja dan dia mengetahui (hukumnya), maka
orang ini shalatnya batal. Yang menjadi perselisihan, hanyalah tentang
berbicaranya orang yang lupa dan orang yang tidak mengetahui bahwa itu
larangan. Mengenai orang yang tidak tahu, maka dia tidak mengulangi
shalat (dengan kata lain shalatnya sah, Red) (berdasarkan) zhahir hadits
Mu’awiyah bin Al Hakam As Sulami yang sah dalam kitab shahih …
Sedangkan orang yang lalai dan orang yang lupa, maka zhahirnya tidak ada
perbedaan antara dia dengan orang yang sengaja dan tahu dalam hal
batalnya shalat.” [1]
5. Tertawa dengan bersuara.
Ibnul Mundzir menukilkan ijma’ ulama tentang batalnya shalat yang
disebabkan oleh tertawa. (Al Ijma’, 40). Abu Malik Kamal bin As Sayyid
Salim berkata: “...... karena tertawa lebih buruk dari berbicara, karena
hal itu disertai dengan meremehkan dan mempermainkan shalat. Dan telah
datang beberapa riwayat dari para sahabat yang menunjukkan batalnya
shalat yang disebabkan oleh tertawa.” [2]
6. Lewatnya wanita dewasa, keledai, atau anjing hitam, di hadapan orang yang shalat pada tempat sujudnya.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا
كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِذَا لَمْ يَكُنْ
بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلَاتَهُ
الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ الْأَسْوَدُ قُلْتُ يَا أَبَا ذَرٍّ
مَا بَالُ الْكَلْبِ الْأَسْوَدِ مِنْ الْكَلْبِ الْأَحْمَرِ مِنْ
الْكَلْبِ الْأَصْفَرِ قَالَ يَا ابْنَ أَخِي سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا سَأَلْتَنِي فَقَالَ الْكَلْبُ
الْأَسْوَدُ شَيْطَانٌ
Dari Abu Dzarr, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: “Jika seseorang di antara kamu berdiri shalat, jika di
hadapannya ada semisal kayu sandaran pada pelana unta, [3] maka itu
akan menutupinya. Jika di hadapannya tidak ada semisal kayu sandaran
pada pelana unta, maka sesungguhnya shalatnya akan dibatalkan oleh
(lewatnya) keledai, wanita dewasa, atau anjing hitam.” Aku (Abdullah bin
Ash Shamit, perawi sebelum Abu Dzarr) bertanya: “Wahai, Abu Dzarr, apa
masalahnya anjing hitam dari anjing merah dan anjing kuning?” Abu Dzarr
menjawab: “Wahai, anak saudaraku. Aku telah bertanya kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana engkau bertanya kepadaku, lalu
Beliau menjawab ‘anjing hitam adalah syetan’.” [HR Muslim, no. 510;
Nasa’i (1/2/63); Tirmidzi, no. 337; Abu Dawud, no. 688].
Dalam masalah ini, sesungguhnya terjadi perselisihan. Sebagaian ulama
berpendapat batal shalatnya, sebagian lainnya berpendapat berkurang
nilai shalatnya, sebagian lainnya berpendapat hadits ini telah mansukh
(dihapuskan hukumnya), sebagaimana dijelaskan oleh An Nawawi di dalam
syarah (penjelasan) hadits ini.
Namun yang paling kuat, ialah pendapat pertama, berdasarkan zhahir
hadits ini. Yaitu pendapat Syaikh Al Albani sebagaimana di dalam Sifat
Shalat Nabi, hlm. 85, catatan kaki, no. 1 [Penerbit Maktabah Al Ma’arif]
Inilah enam perkara yang membatalkan shalat sebagaimana disebutkan Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi [4].
Selain itu, adalagi perkara lain yang disebutkan oleh sebagian ulama
yang termasuk membatalkan shalat, yaitu menyibukkan diri dengan
perbuatan yang bukan termasuk shalat.
Asy Syaukani rahimahullah berkata: “Mengenai batalnya shalat dengan
sebab menyibukkan diri dengan perbuatan yang bukan bagian dari shalat,
hal itu dengan syarat jika perbuatan itu menyebabkan orang yang shalat
keluar dari keadaan shalat. Seperti orang yang menyibukkan dengan
menjahit, melakukan pekerjaan tukang kayu, berjalan banyak, menoleh
lama, atau semacamnya.”[5]
Penulis kitab Manarus Sabil, Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad bin
Dhauyan rahimahullah, ketika menjelaskan perkara-perkara yang
membatalkan shalat, (di antaranya) beliau menyatakan: “Berbuat
(bergerak) banyak menurut kebiasaan, bukan perbuatan yang termasuk jenis
(perbuatan) shalat, tanpa darurat. Seperti berjalan, garuk-garuk,
istirahat. Jika perbuatan itu banyak, berturut-turut, (maka) hal itu,
menurut Ijma’ membatalkan shalat. Itu dikatakan di dalam kitab Al Kafi.
Dia juga mengatakan: “Jika perbuatan itu sedikit, tidak membatalkannya.”
[6].
Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah, ketika menjelaskan
perkara-perkara yang membatalkan shalat, antara lain beliau menyebutkan:
“Dan dengan gerakan yang banyak secara berturut-turut tanpa darurat.”
[7]
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjelaskan
perkara-perkara yang membatalkan shalat, antara lain beliau menyebutkan:
“(Perbuatan) sia-sia yang banyak, yang berturut-turut di dalam shalat.
[8]
Imam Shidiq Hasan Khan rahimahullah berkata: “Mereka (ulama) bersepakat
bahwa perbuatan (gerakan) yang sedikit tidak membatalkan shalat.” [9]
Tetapi, dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat tentang ukuran perbuatan (gerakan) yang bisa membatalkan shalat.
Imam Shidiq Hasan Khan rahimahullah menjelaskan masalah ini dengan
mengatakan: “Yang saya pandang sebagai jalan untuk mengetahui perbuatan
itu banyak (yang membatalkan shalat), hendaklah orang yang berbicara
tentang hal ini memperhatikan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (di dalam shalat), seperti
menggendong Umamah binti Abil ‘Ash (cucu Nabi, Red), naik-turun Beliau
pada mimbar dalam shalat, dan semacamnya yang terjadi pada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bukan untuk membenahi shalat. Kemudian
orang yang memperhatikan ini (hendaklah, Red) menghukuminya sebagai
perbuatan yang tidak banyak. Demikian juga apa yang terjadi untuk
membenahi shalat. Misalnya, seperti Beliau melepaskan sandalnya, ijin
Beliau untuk membunuh ular dan semacamnya, lebih pantas dihukumi sebagai
perbuatan yang tidak banyak. [10]
Adapun yang Antum sebutkan, yaitu minum teh manis setelah wudhu’, maka
itu tidak termasuk perkara yang membatalkan wudhu’. Tetapi jika
seseorang sedang melakukan shalat lalu dia minum teh atau minuman
lainnya, tentu hal itu membatalkan shalat.
Sumber artikel :
- fdawj.co.nr
- Disadur dari Syarh
Ad-Duruus Al-Muhimmah li ‘Aammatil Ummah, karya Asy-Syaikh Ibnu Baaz
dan Shifatu Shalaatin Nabiy shallallahu ‘alaihi wa sallam karya
Asy-Syaikh Al-Abaniy.
- Bulletin Al Wala
wal Bara Edisi ke-27 Tahun ke-3 / 03 Juni 2005 M / 25 Rabi’uts Tsani
1426 H dan Edisi ke-28 Tahun ke-3 / 10 Juni 2005 M / 02 Jumadil Ula
1426 H) http://adhwaus-salaf.or.id/2010/03/24/mengenal-sunnah-sunnah-dalam-shalat/
- [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun VIII/1425H/2004M
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.
8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]